Untuk Boediono: Sebuah Titipan dari Sebuah Gedung Bersejarah

Kita bertemu di sini—di gedung tempat Bung Karno mengucapkan pleidoinya
di pengadilan kolonial 79 tahun yang lalu—karena kita merasa sesuatu
yang ganjil terjadi. Sesuatu yang tak lazim dan mengandung harap.
Yang ganjil adalah bahwa hari ini kita menemukan seorang yang akan
dicalonkan jadi wakil presiden, dan orang itu tak datang dari kancah
yang ribut di mana partai-partai politik bersaing mendapatkan uang atau
kedudukan.
Boediono seorang ekonom; ia bekerja dalam pengelolaan perekonomian
Indonesia; ia seorang teknokrat. Ia bukan tokoh partai. Ia bukan anggota
dinasti pemimpin partai. Ia tak tersohor dalam pasaran media seperti
para bintang sinetron, komedian, dan penyanyi. Ia bukan seorang
vote-getter.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilihnya sebagai calon wakilnya
tentu karena Boediono memenuhi sejumlah syarat. Tapi lebih penting lagi
adalah kenyataan bahwa Boediono bukan saja seorang yang telah bekerja
untuk perbaikan kehidupan perekonomian bangsa, tapi juga seorang pejabat
dan pribadi yang bersih.
Di atas saya sebut, itulah sebuah ”keganjilan”—dan di atas saya sebut
juga, ”keganjilan” itu membawa harap. Diakui atau tidak, ada yang
merisaukan dalam kegaliban kehidupan politik kita. Kini SBY, dengan
memilih Boediono, menunjukkan langkah kepemimpinan yang berani—dan itu
indikasi bahwa kita, sebagai bangsa, sanggup memperbaiki keadaan yang
merisaukan itu.
Telah luas diketahui, hari-hari ini orang berpolitik dengan semacam
sinisme yang gelap: pada sebuah zaman ketika semua dapat
diperjual-belikan, orang cenderung percaya bahwa bahkan partai harus
juga dianggap sebagai komoditas.
Para calon anggota legislatif yang berkampanye ke daerah bisa bercerita,
bagaimana ratusan juta rupiah dihabiskan untuk memperoleh suara.
Sebaliknya ada juga cerita bagaimana para pemilih mengorganisasi diri
jadi kelompok dan menawarkan dukungan agar dibeli.
Walhasil, ikatan yang terjadi bukanlah ikatan agenda dan cita-cita,
melainkan ikatan antara penjaja dan pembeli.
Di tingkat elite politik, sinisme yang lebih gelap berlaku. Koalisi
antarpartai dibentuk atau dibatalkan bukan berdasarkan program ataupun
ideologi, bukan karena apa yang akan diperbuat bagi pemilih dan bagi
Republik. Koalisi antarpartai hampir sepenuhnya berkisar di sekitar
siapa dapat jabatan apa, bahkan siapa yang membayar dan siapa yang dibayar.
Di tengah berisiknya tawar-menawar yang seperti pasar ternak itu
pertanyaan pun timbul: Adakah prinsip tentang kebaikan dan kebenaran
dalam politik? Benarkah semuanya untuk kepentingan subyektif, dan tak
ada suatu nilai universal yang menggugah hati dan membentuk kesepakatan?
*l l l*
79 tahun yang lalu, di ruangan ini, Bung Karno memulai pleidoinya dengan
sebuah statemen yang menarik. Sebuah statemen yang menunjukkan, betapa
bisa palsunya klaim pemerintah kolonial bahwa kebenaran dan keadilan
yang hendak ditegakkannya—dalam tubuh hukum—adalah kebenaran dan
keadilan yang universal.
Bung Karno menyebut apa yang salah dalam hukum yang dipergunakan hari
itu. ”Tuan-tuan Hakim,” katanya, ”kami di sini didakwa bersalah
menjalankan hal-hal, yang sangat sekali memberi kesempatan lebar pada
pendapat subyektif….”
Adapun jaksa menyatakan Bung Karno bersalah berdasarkan pasal tentang
”pemberontakan”. Tapi Bung Karno menunjukkan, pasal itu, seperti pasal
yang menyebut diri ”pencegah penyebaran rasa benci” (haatzaai
artikelen), mengandung kata-kata yang bisa ditafsirkan seenaknya oleh
yang membacanya, terutama para jaksa dan hakim kolonial. Bung Karno
mengulang apa yang sering dikatakan tentang pasal-pasal seperti
itu—yakni ”aturan karet yang keliwatan kekaretannya”. Artinya, aturan
yang dapat direntang dan dikerutkan sesuai dengan kepentingan sepihak,
atau apa yang disebut Bung Karno sebagai ”subyektif”.
Apa yang tersirat dari pernyataan Bung Karno ialah bahwa keadilan dan
kebenaran, yang seharusnya bersifat universal, telah direduksi jadi
pasal-pasal. Dengan kata lain, yang universal, yang tak terhingga, telah
dikuasai oleh bahasa, sistem simbolik yang mau mendikte karena berkuasa.
Tak mengherankan bila Bung Karno pada akhirnya dinyatakan bersalah. Ia
dihukum empat tahun penjara dan dikurung di Sukamiskin. Tapi tak mudah
menerima keputusan itu sebagai ekspresi keadilan. Pada saat palu
diketukkan, terasa benar apa yang diingatkan Marxisme: keadilan dan
kebenaran selamanya adalah keadilan dan kebenaran dari yang berkuasa.
Dengan kata lain, dalam rumusan nilai-nilai selalu ada dimensi politik,
pertarungan kekuasaan, dan perebutan hegemoni.
Memang, Marxisme sebuah suara zaman modern, bagian dari apa yang disebut
hermeneutics of suspicion, yang meragukan bahwa ada kebenaran yang mulus
dan murni. Tapi kita ingat, bahkan dalam Marxisme orang senantiasa
dirundung pertanyaan: benarkah politik hanya pergulatan kepentingan
”subyektif” atau sepihak? Jika demikian, apa makna perjuangan
proletariat untuk membebaskan manusia dari ikatan kepentingan
kelas-kelas? Bila perjuangan politik tak bisa berangkat dari kebenaran
dan keadilan yang berlaku bagi siapa saja, bagaimana ia bisa menggugah
banyak orang, mengajak banyak orang, untuk bergerak?
Saya termasuk orang yang percaya, politik adalah perjuangan yang
terdorong untuk melawan kepentingan ”aku”. Politik berbeda dari pasar
ternak. Ada yang universal dalam nilai-nilai yang membuat kita memenuhi
panggilannya.
Tapi sejarah perjuangan politik juga menunjukkan, yang universal
bukanlah sesuatu yang sudah dirumuskan sepenuhnya. Yang universal adalah
yang justru dirasakan sebagai kekurangan yang akut. Keadilan (sebuah
nilai universal) jadi sesuatu yang seakan-akan hadir, memanggil-manggil,
ketika ketidakadilan merajalela. Kebenaran (sebuah nilai universal) jadi
mendesak semua orang ketika dusta menguasai percakapan. Dalam Indonesia
Menggugat, Bung Karno mengutarakan ini dengan retorika yang memukau:
… Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak
diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat—tiap-tiap
machluk, tiap-tiap ummat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti
achirnja berbangkit, pasti achirnja bangun, pasti achirnja menggerakkan
tenaganja, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan tjelakanja diri
teraniaja oleh suatu daja angkara murka!!”
Kebangkitan mereka yang teraniaya untuk mencapai keadilan dan kebebasan
pada akhirnya hanya berarti ketika keadilan dan kebebasan itu ditujukan
buat siapa saja. Sejarah bergerak karena sebanyak-banyaknya orang ikut
bergerak.
*l l l*
Tapi bisakah sejarah berakhir? Kita berada pada awal abad ke-21, yang
mengharuskan kita tabah dan juga berendah hati. Abad yang lalu telah
menyaksikan ide-ide besar yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh,
namun akhirnya gagal membangun sebuah masyarakat yang dicita-citakan.
Dengan ketabahan itu sejarah tak berhenti, bahkan berjalan semakin
cepat. Teknologi, pengetahuan tentang manusia dan lingkungannya,
kecenderungan budaya dan politik, berubah begitu tangkas, hingga
persoalan baru timbul sebelum jawaban buat persoalan lama ditemukan.
Kini makin jelaslah, tak ada doktrin yang mudah dan mutlak untuk
memecahkan problem manusia. Tak ada formula yang tunggal dan kekal bagi
kini dan nanti.
Yang ada, yang dibutuhkan, justru sebuah sikap yang menampik doktrin
yang tunggal dan kekal. Kita harus selalu terbuka untuk langkah
alternatif. Kita harus selalu bersedia mencoba cara yang berbeda, dengan
sumber kreatif yang beraneka.
Boediono tentu sangat akrab dengan keniscayaan itu. Seorang ekonom
adalah seorang yang sangat dekat dengan kekurangan dan kelangkaan, dan
seorang teknokrat adalah seorang yang harus bersua tiap kali dengan
kerumitan. Itu sebabnya Boediono tahu, doktrin seperti ”neoliberalisme”
tak akan pernah berhasil, sebagaimana ”ekonomi yang etatis” tak akan
pernah sampai di tujuan.
Sikap pragmatik itu, sebagai sebuah keniscayaan, tak berarti sikap yang
hanya mengutamakan hasil dan tak mempedulikan nilai-nilai, tak
mengacuhkan apa yang baik dan yang benar. Seorang ekonom, terutama di
Indonesia, tak mungkin mengabaikan persoalan korupsi, ketakadilan dalam
aturan main, goyahnya kemandirian lembaga yudikatif, dan last but not
least, tipisnya modal sosial dalam bentuk sikap yang lebih percaya
kepada liyan—orang lain yang juga sesama.
Seorang ekonom, seperti kita semua, punya daftar panjang tentang hal-hal
yang tak bisa diabaikan. Untuk itu diperlukan kesetiaan yang tak
habis-habisnya: kesetiaan kepada negeri ini.
Kesetiaan kepada negeri ini bukanlah karena patriotisme yang pongah.
Kita setia kepada Indonesia justru karena ia terus-menerus memanggil: ia
belum selesai. Kita tak bisa melepaskan diri dari ikatan kita kepadanya;
kita tak bisa melupakannya; kita terkadang bangga terkadang risau oleh
karenanya. Tapi tetap: Indonesia bukan hanya sebuah tempat tinggal.
Indonesia adalah sebuah amanat. Begitu banyak sudah orang berkorban
untuk cita-cita yang membuat negeri ini lahir.
Saudara Boediono, kami percaya, Anda tak akan menyia-nyiakan amanat itu.
Dari ruang ini, pada hari ini, izinkanlah kami mengucapkan selamat
bertugas.
Bandung, 15 Mei 2009
/*Goenawan Mohamad


Tidak ada komentar:

Posting Komentar