Sejarah Perkembangan Perkebunan Karet di Sumatera Timur

Oleh : Sumarsongko Sastrowardoyo

Salah satu akibat penting dari kemelut tembakau 1891 yalah peningkatan usaha untuk menanam tanam-tanaman perdagangan baru, yang mempunyai prospek ekspor baik di paaran internasional. Kemelut 1891 menunjukkan bahwa ekonomi yang cuma tergantung daripada satu tanaman saja (monoculture economy)

Mula-mula diupayakan untuk menanam kopi di daerah Serdang, namun persaingan dari kopi Brasilia mengakibatkan penanaman kopi tidak sebegitu menguntungkan, sehingga sesudah beberapa tahun, dihentikan sama sekali di Sumatera Timur. Penanaman kopi juga tak kelihatan menarik sebab justru para pengusaha perkebunan besar mulai menanam karet jenis Hevea Braziliensis di perkebunan-perkebunan Sumatera Timur ternyata mempunyai prospek yang sangat cerah sehingga banyak perkebunan kopi lalu dijadikan perkebunan karet.

Daerah yang lalu menjadi sebagai pusat penanaman karet adalah daerah Serdang, seperti juga Deli merupakan pusat penanaman tembakau. Selama abad kesembilan belas, karet berkembang dengan cepat sehingga menjadi penggerak ekonomi daerah Sumatera Timur, seperti halnya dengan tembakau Deli menjadi penggerak daerah Sumatera Timur beberapa puluh tahun yang silam.

Masalah Tenaga Kerja.

Suatu pembahasan mengenai pertumbuhan ekonomi Sumatera Timur tidak lengkap tanpa pembahasan mengenai masalah persediaan tenaga kerja yang dihadapi perkebunan-perkebunan besar di Sumatera Timur, sejak dibuka untuk modal dan usaha Barat. Nienhuis sendiri sudah mengalami betapa sukarnya mendapat enga kerja untuk perkebunan tembakau yang baru ia buka, lantaran penduduk setempat umumnya tidak bersedia bekerja pada perkebunan-perkebunannya.

Dipandang dari sudut ekonomi, keengganan penduduk setempat untuk bekerja sebagai buruh perkebunan bisa kita mengerti, sebab dengan jumlah penduduk yang kecil dan tersedianya tanah luas tidak terdapat suatu perangsang ekonomi yang besar untuk menambah nafkahya. Berbeda dengan di pulau Jawa, tekanan penduduk untuk mencari tambahan nafkah dengan bekerja pada perkebunan-perkebunan besar.

Kurangnya tenaga kerja yang semula dialami oleh Nienhuis serta para pengusaha perkebunan-perkebunan lainnya, mendorong para pengusaha perkebunan itu untuk menarik tenaga kerja dari daerah-daerah lain. Selama beberapa tahun pertama, para pengusaha perkebunan Deli berhasil untuk menarik tenaga kerja Tionghoa, yang diambil dari pulau Pinang serta singapura, lewat para perantara (brokers) Tionghoa.

Upaya untuk mempekerjakan buruh-buruh Tionghoa itu berhasil, sesudah daerah Sumatera Timur dibuka untuk investasi modal Barat, perkebunan-perkebunan tembakau di Deli sudah mempekerjakan k.l. 3,000 buruh Tionghoa.Usaha pengerahan tenaga kerja dengan sistem perantara ternyata punya kelemahan serta kekurangan, sebab para perantara sering menculik atau membujuk calon-calon buruh dengan janji muluk-muluk untuk pergi ke Sumatera Timur, tanpa mereka ketahui keadaan sebenarnya. Pengerahan tenaga kerja melalui pengantara pun mahal sekali, lantaran uang komisi tinggi sekali untuk 'jasa-jasa' mereka.

Para pengusaha perkebunan-perkebunan di Sumatera timur kemudian mengambil keputusan untuk mencari sendiri di Tiongkok. Para pengusaha perkebunan-perkebunan tembakau di Sumatera Timur pada tahun 1879 sudah menggabungkan diri dalam Deli Planters Vereeniging (DPV), dengan tujuan supaya perhimpunan para pengusaha perkebunan Deli ini dapat menanggulangi pelbagai masalah yang dihadapi para pengusaha perkebunan, khususnya mengenai masalah tenaga kerja.

Sebagai hasil Biro Imigrasi, para pekerja yang direkrut di Tiongkok bertambah dengan cepat, sbb: Pada tahun 1888, 1,152 pekerja didatangkan dari Tiongkok, namun setahun kemudian angka ini sudah meningkat hampir lima kali lipat sampai 5,167, kemudian meningkat lagi menjadi 6,666 pada tahun 1890.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar