LETKOL DAAN JAHJA
Oleh: DR. Rushdy Husein (Sejarawan UI, Pembinca KHI)
Lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5
Januari 1925 – meninggal di Jakarta, 20 Juni 1985 pada umur 60 tahun)
adalah Gubernur (Militer) Jakarta dan Panglima Divisi Siliwangi. Ia
memainkan peranan penting dalam menumpas aksi Kapten Westerling yang mau
merebut kekuasaan negara karena tidak menerima penyerahan kedaulatan
Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949.
Daan Jahja lahir dari
pasangan Jahja Datoek Kajo dan Sjahrizan Jahja, asal Koto Gadang, Agam,
Sumatera Barat. Ayahnya merupakan anggota Volksraad yang cukup vokal,
dan orang yang pertama kali berpidato menggunakan bahasa Indonesia dalam
sidang Volksraad.
Daan merupakan anak yang tertua dari sembilan
bersaudara. Daan Jahja aktif terlibat pada masa-masa revolusi Indonesia.
Dia bergabung dengan kelompok Prapatan 10, satu dari dua kelompok
pemuda yang paling menonjol pada masa
kemerdekaan Indonesia. Kelompok Prapatan 10 yang bermarkas di Jl.
Prapatan 10, Jakarta merupakan pengikut Sutan Sjahrir. Sedangkan
kelompok lainnya, yakni Menteng 31 menjadi pengikut Tan Malaka. Daan
Jahja menjadi pemimpin dalam kelompok Parapatan 10. P
ada peristiwa
Rengasdengklok, Daan dan kelompok Prapatan 10 maupun Menteng 31 bertugas
untuk membawa Soekarno-Mohammad Hatta ke Rengasdengklok. Kedua kelompok
ini menuntut agar Soekarno-Hatta cepat-cepat memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia. Beliau juga terlibat aktif pada saat rapat
raksasa di Lapangan Ikada, Jakarta.
Pada masa Agresi Militer Belanda II,
beliau ditempatkan di wilayah Sumatera. Kepada menteri pertahanan
Mohammad Hatta, ia menyampaikan memorandum agar pemerintah menyiapkan
pangkalan cadangan di tempat yang lebih luas yang memungkinkan
pemerintah bergerak lebih leluasa untuk perang gerilya. Tempat yang
disarankannya adalah Bukittinggi, Sumatera Barat, mengingat ruang gerak
di pulau Jawa
yang semakin sempit. Saat menjabat gubernur militer Jakarta, Daan Jahja
berhasil menyelesaikan masalah administratif pemerintahan Jakarta yang
sebelumnya diatur oleh Belanda. Letnan Kolonel H.
Daan Jahja wafat pada
tanggal 20 Juni 1985 tepat pada saat Idul Fitri 1405. Beliau wafat
sepulang dari mesjid Sunda Kelapa, Jakarta setelah melaksanakan salat
Ied
Alkisah pada tahun 1943 sekolah tinggi kedokteran di Jakarta yang ditutup dizaman Jepang kemudian dibuka kembali. namanya
Ika Dai Gakko dan lama pendidikan lima
tahun. Berduyun-duyunlah lulusan sekolah menengah atas mendaftar disana.
Diantaranya Soeroto Koento, Soebianto, Oetarjo, MT Harjono, Daan Jahja
dll. Kira-kira pada
bulan Juni 1943, mahasiswa Ika Dai Gakko diwajibkan memakai pet berwarna
putih. Aturan ini masih bisa ditolerir. Protes kemudian muncul pada bulan Oktober 1943 ketika mahasiswa tingkat tiga ke
bawah diwajibkan menggundulkan kepalanya seperti kebiasaan mahasiswa Jepang.
Yang lebih parah lagi ketika sedang diusahakan untuk membuat protes secara
tertulis, penggundulan paksa oleh tentara Jepang bersenjata sudah kadung
dilaksanakan terhadap mahasiswa tingkat satu dan dua.
Para mahasiswa tidak bisa menerima dan langsung melakukan pemogokan kuliah. Prof. Achmad Mochtar yaitu seorang tenaga pengajar Ika dai Gakko mencoba menenangkan mahasiswa tapi tidak berhasil. Karena Keadaan menjadi tegang Empat serangkai pimpinan Putera (Soekarno, Hatta, Kihajar Dewantoro dan Mas Mansur) ikut turun tangan. Pertemuan di antara mereka dengan mahasiswa dilakukan di asrama BAPERPI Cikini 71. Juru bicara mahasiswa, Soedarpo dan Soedjatmoko (dari tingkat II). Hasilnya tidak ada. Empat serangkai menasihatkan agar keputusan diterima kalau tidak mau timbul resiko.
Pemogokan ini ternyata berbuntut panjang, karena berita pemogokan mahasiswa muncul dalam berita radio di luar negeri. Akibatnya Jepang hilang kesabaran. Kem Pe Tai turun tangan untuk menangkap para mahasiswa. Tidak semua mahasiswa ditangkap. Hanya yang dicurigai sebagai biang keladinya saja. Mereka adalah Subianto, Sanyoto, Daan Jahja, Oetarjo, Soeroto Koento dan Soewadi dari tingkat satu. Kemudian Soedarpo, Soedjatmoko, dan Soejono dari tingkat dua, Karimoedin dari tingkat tiga, Tadjoeloedin, Eri Soedewo, Moeharto dan Poerwoko dari tingkat empat dan terakhir Soewito dari tingkat lima. Mereka disekap, dipukuli serta disiksa dalam tahanan Kem Pei Tai di jalan Merdeka Barat.
Penahanan dilakukan kurang lebih selama beberapa minggu dan ahirnya dilepas dengan ketentuan, Soebianto, Soeroto Koento, Oetarjo, Sanyoto, Daan Jahja, Soedarpo, Soedjatmoko dan Moeharto dikeluarkan dari Ika Dai Gakko. Karimoedin, Tadjoeloedin, Eri Soedewo dan Poerwoko diskors selama empat sampai enam bulan. Yang lain masuk kembali. Bagi mereka yang dikeluarkan tentu saja merupakan pukulan yang berat padahal cita-cita bukan hanya untuk menjadi dokter saja tapi terutama karena ingin mengabdi pada bangsa dan tanah air guna mewujudkan kemerdekaan.
Ketika diadakan diskusi diantara mereka sebagian bertekad untuk mengabdikan dirinya dalam bidang kemiliteran. Soebianto punya gagasan untuk mengajak teman-temannya masuk sekolah PETA di Bogor. Atau pergi ke Australia menjadi tentara sekutu sehingga pada saatnya kembali ketanah air lagi. Ternyata hasil diskusi memutuskan mereka akan masuk PETA. Atas usaha H. Agus Salim, hanya Oetarjo dan Daan Jahja yang dapat mengikuti pendidikan PETA.
Karir militer keduanya kemudian berlanjut dalam TNI. Yang agak mengundang pertanyaan, Soebianto dan Soeroto Koento kemudian masuk Sekolah Tinggi Islam (S.T.I) yang baru didirikan pada tgl 8 Juli 1945. Bahkan mereka mempelopori berdirinya Persatuan Pelajar Sekolah Tinggi Islam P.P.S.T.I. Soebianto (paman Prabowo) gugur dalam peristiwa Lengkong awal Januari1946, sedangkan Soeroto Koento diculik pada tahun 1947 saat menjabat Komandan Resimen 6 Cikampek (jasadnya tidak pernah ditemukan kembali) .
Dalam karirnya Daan Jahja yang Panglima Siliwangi dan Gubernur Militer di Jakarta itu dan juga merupakan utusan militer dalam KMB hanya berhasil mencapai pangkat Let.Kol, Sedangkan Oetarjo juga terakhir berpangkat Let.Kol dan pernah menjabat perwira dwifungsi disebuah perusahaan negara. Begitulah serpihan cerita Revolusi Indonesia ini...Terima kasih.
Para mahasiswa tidak bisa menerima dan langsung melakukan pemogokan kuliah. Prof. Achmad Mochtar yaitu seorang tenaga pengajar Ika dai Gakko mencoba menenangkan mahasiswa tapi tidak berhasil. Karena Keadaan menjadi tegang Empat serangkai pimpinan Putera (Soekarno, Hatta, Kihajar Dewantoro dan Mas Mansur) ikut turun tangan. Pertemuan di antara mereka dengan mahasiswa dilakukan di asrama BAPERPI Cikini 71. Juru bicara mahasiswa, Soedarpo dan Soedjatmoko (dari tingkat II). Hasilnya tidak ada. Empat serangkai menasihatkan agar keputusan diterima kalau tidak mau timbul resiko.
Pemogokan ini ternyata berbuntut panjang, karena berita pemogokan mahasiswa muncul dalam berita radio di luar negeri. Akibatnya Jepang hilang kesabaran. Kem Pe Tai turun tangan untuk menangkap para mahasiswa. Tidak semua mahasiswa ditangkap. Hanya yang dicurigai sebagai biang keladinya saja. Mereka adalah Subianto, Sanyoto, Daan Jahja, Oetarjo, Soeroto Koento dan Soewadi dari tingkat satu. Kemudian Soedarpo, Soedjatmoko, dan Soejono dari tingkat dua, Karimoedin dari tingkat tiga, Tadjoeloedin, Eri Soedewo, Moeharto dan Poerwoko dari tingkat empat dan terakhir Soewito dari tingkat lima. Mereka disekap, dipukuli serta disiksa dalam tahanan Kem Pei Tai di jalan Merdeka Barat.
Penahanan dilakukan kurang lebih selama beberapa minggu dan ahirnya dilepas dengan ketentuan, Soebianto, Soeroto Koento, Oetarjo, Sanyoto, Daan Jahja, Soedarpo, Soedjatmoko dan Moeharto dikeluarkan dari Ika Dai Gakko. Karimoedin, Tadjoeloedin, Eri Soedewo dan Poerwoko diskors selama empat sampai enam bulan. Yang lain masuk kembali. Bagi mereka yang dikeluarkan tentu saja merupakan pukulan yang berat padahal cita-cita bukan hanya untuk menjadi dokter saja tapi terutama karena ingin mengabdi pada bangsa dan tanah air guna mewujudkan kemerdekaan.
Ketika diadakan diskusi diantara mereka sebagian bertekad untuk mengabdikan dirinya dalam bidang kemiliteran. Soebianto punya gagasan untuk mengajak teman-temannya masuk sekolah PETA di Bogor. Atau pergi ke Australia menjadi tentara sekutu sehingga pada saatnya kembali ketanah air lagi. Ternyata hasil diskusi memutuskan mereka akan masuk PETA. Atas usaha H. Agus Salim, hanya Oetarjo dan Daan Jahja yang dapat mengikuti pendidikan PETA.
Karir militer keduanya kemudian berlanjut dalam TNI. Yang agak mengundang pertanyaan, Soebianto dan Soeroto Koento kemudian masuk Sekolah Tinggi Islam (S.T.I) yang baru didirikan pada tgl 8 Juli 1945. Bahkan mereka mempelopori berdirinya Persatuan Pelajar Sekolah Tinggi Islam P.P.S.T.I. Soebianto (paman Prabowo) gugur dalam peristiwa Lengkong awal Januari1946, sedangkan Soeroto Koento diculik pada tahun 1947 saat menjabat Komandan Resimen 6 Cikampek (jasadnya tidak pernah ditemukan kembali) .
Dalam karirnya Daan Jahja yang Panglima Siliwangi dan Gubernur Militer di Jakarta itu dan juga merupakan utusan militer dalam KMB hanya berhasil mencapai pangkat Let.Kol, Sedangkan Oetarjo juga terakhir berpangkat Let.Kol dan pernah menjabat perwira dwifungsi disebuah perusahaan negara. Begitulah serpihan cerita Revolusi Indonesia ini...Terima kasih.
louis vuitton outlet
BalasHapuscoach outlet online store
north face outlet 70% off
fitflop sale
abercrombie kids
fendi
jordan 6
fitflops
north face outlet store
michael kors outlet
gucci outlet online
new balance
coach purses
hermes bag
hermes bags
louis vuitton belt
cheap jordan shoes
hermes outlet
toms shoes
converse shoes sale
ferragamo shoes outlet
louboutin shoes
coach outlet store
polo factory outlet
north face clearance
coach factory outlet
michael kors factory outlet online
jordan shoes
christian louboutin outlet
celine bag
michael kors sale
reebok shoes outlet
abercrombie promo code
converse shoes
ralph lauren extra 25% off
toms outlet
nike high heels online
lebron 12 shoes
abercrombie and fitch
jordan retro 11 legend blue
marc jacobs outlet
kobes shoes
coach bag
kids north face jackets
1015wjl