Program Ali Baba: Ekonomi Kerakyatan a la Orde Lama

Oleh: Muhammad Ruslailang
Jargon ekonomi kerakyatan yang saat ini sedang digadang oleh Capres Mega-Prabowo sesungguhnya pernah dipraktekkan secara sporadis oleh bapak-bapak kandung mereka. Di jaman pemerintahan presiden Soekarno - bapake bu Mega, pernah ada program ekonomi bertajuk Program Benteng. Nama program ini tidak ada kaitannya dengan lambang kebo moncong putih yang jadi simbol PDIP atau PNI yang jadi moyang PDIP, tapi mungkin diambil dari nama lapangan Benteng yang berlokasi di depan departement keuangan.

Program Benteng digagas pada tahun 1950 oleh Menteri Perdagangan dan Perindustrian ketika itu, Soemitro Djojohadikusumo (yak, anda betul! beliau ini adalah bapak kandung cawapres Prabowo Subianto). Soemitro yang kala itu merupakan wakil Partai Sosialis Indonesia dalam kabinet Natsir (Masyumi), melihat menumpuknya beban pemerintahan RI karena utang warisan penjajah Belanda sebesar Rp 4,3 Milyard sungguh sangat membebani republik muda usia itu. Beban utang itu adalah ibarat harga kemerdekaan RI yang mesti ditebus oleh Indonesia kepada pemerintah kolonial Belanda yang tertuang dalam kesepakatan Meja Bundar 1949 di Den Haag. Beban mengangsur utang warisan itu memperlambat kesempatan RI muda untuk membangun infrastruktur.

Nah, Soemitro hadir membawa solusi revolusioner; memberi kredit impor seluas-luasnya hanya kepada pengusaha pribumi sehingga diharapkan bisa memicu pertumbuhan ekonomi nasional. Meski berbau sedikit kapitalistik, namun peruntukan yang 100% hanya untuk memproteksi pengusaha pribumi ini diharapkan bisa meruntuhkan dominasi asing - yang kala itu masih dikuasai oleh oligopoli perusahaan Belanda dan Inggris. Pertumbuhan ekonomi yang dipelopori oleh pribumi tentu akan meringankan beban pemerintah membangun infrastruktur.

Tapi sayangnya, keterbatasan kemampuan bisnis para pengusaha pribumi menjadi parameter yang terlupakan. Lisensi impor yang diberikan secara sporadis kepada para pribumi melahirkan pengusaha-pengusaha yang tak berkantor dan tak bermodal, kecuali lisensi impor sahaja. Maka percukongan lisensi impor itu terjadilah, pihak penadah dan penjual lisensi bertemu dalam suatu permufakatan tercela, kalau kata 'jahat' dianggap terlalu sarkastis. Para cukong, yang umumnya bersuku Tionghoa menjadi penadah lisensi impor itu, dan melahirkan pola ekonomi Ali - Baba. Ali menjadi representasi idiom untuk kaum pengusaha pribumi, sedang Baba mewakili idiom pengusaha Tionghoa.

Program yang tadinya ditujukan untuk memberdayakan pengusaha pribumi menjadi tidak tepat sasaran, bahkan menjadi arena korupsi dan kolusi yang marak. Yang ketiban pulung adalah beberapa pengusaha etnis Tionghoa kala itu.

Pribumisasi
Meski prakteknya sudah melenceng jauh, Program Benteng tetap diteruskan oleh kabinet Ali Sastroadmidjojo yang menggantikan kabinet Natsir. Menteri Iskaq Tjokrohadisoerjo, salah seorang tokoh ultra-nasionalis dan pendiri PNI yang menjadi Menteri Keuangan di kabinet Ali, menerapkan kebijakan pribumiisasi atau nasionalisasi pada tahun 1952 dengan mewajibkan Bank Negara Indonesia untuk membiayai semua program nasionalisasi perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.

Tersebutlah perusahaan asing yang berhasil diambil alih: Nederlansche Handel Maatschappij, Pabrik Kertas Padalarang, Kebun Karet Klapa Nunggal dan Tingga Jaya (NV Michiel Arnold) dan sederet perusahaan asing lainnya. Alih-alih menguasai perekonomian nasional, pribumiisasi atau nasionalisasi ini secara umum malah menambah beban bagi negara yang harus menanggung kredit macet yang timbul karena kesalahan dalam pengelolaan bisnis oleh para pribumi tersebut.

Pada tahun 1957, Menteri Ekonomi dalam pemerintahan baru Kabinet Djuanda, Prof Ir. Rooseno (begawan keteknikan indonesia) secara resmi menghentikan Program Benteng ini dengan alasan untuk menghilangkan diskriminasi rasialis dalam praktek perekonomian negara.

Namun demikian, beberapa borjuasi pribumi juga berhasil mencuat karena fasilitas pemerintah ini. Sebutlah NV Maskapai Asuransi Indonesia pimpinan VB Tumbelaka, NV Indonesia Service Company besutan Hasjim Ning, NV Djakarta Lloyd, dan PT Transistor Radio Manufacturing yang digarap Thayeb Gobel, ayah pengusaha Rahmat Gobel yang saat ini 'dekat' dengan capres SBY.

Dicontek Malaysia (?)
Meski kemudian dihentikan di Indonesia pada tahun 1957, namun program Benteng ini rupanya diadopsi oleh negara jiran yang kebetulan baru merdeka, Malaysia. Untuk menggalakkan usaha bumiputera, sejak kerusuhan rasialis yang melanda negerinya di tahun 1960-an, pemerintah Malaysia hingga kini masih memberikan privelege/fasilitas kredit khusus kepada pengusaha bumiputera, sebutan untuk pribumi di Malaysia.

Hasilnya bisa kita lihat hingga kini, perusahaan-perusahaan Malaysia yang dikelola oleh putera-puteri mereka berkibar sebagai perusahaan besar seperti Petronas yang sistem manajemennya konon mencontek habis Pertamina. Meski rasialis, program pemberdayaan ekonomi pengusaha bumiputera ini tidak menyebabkan perekonomian negeri jiran ini mandek, bahkan malah lebih maju daripada Indonesia, negara yang awalnya menjadi kiblat ekonomi Malaysia.
(foto dari Wikipedia, bahan diolah dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar